Ada dua alasan mengapa teori ini
dibahas. Pertama, Albert Einstein (1879 – 1955) membuat penafsiran yang
sama sekali baru, yang menandai berakhirnya kejayaan fisika klasik.
Einstein (diucapkan: ainsytain) mengubah secara revolusioner cara
memandang atau menafsirkan hasil observasi Albert Abraham Michelson
(1852 – 1931). Alasan yang kedua, ialah mencoba memperkenalkan kepada
para pembaca yang kebetulan kurang begitu senang pada
persamaan-persamaan dan rumus-rumus, karena tidak mempunyai latar
belakang penguasaan matematika, utamanya kalkulus tensor.
Dalam tahun 1687 Sir Isaac Newton (1642 – 1727) memformulasikan
sebuah teori yang dikenal dengan Prinsip Relativitas Newton, yang
demikian bunyinya: Gerak benda-benda dalam suatu sistem akan sama
keadaannya, apakah sistem itu dalam keadaan diam, ataupun dalam keadaan
bergerak lurus beraturan. Newton menyertai teorinya ini dengan keyakinan
tentang adanya sebuah sistem yang diam secara mutlak, jauh di dalam
pusat alam yang menjadi titik pusat alam semesta. Mengapa Newton harus
yakin dan menganggap perlu benar tentang adanya pusat alam semesta yang
diam secara mutlak itu, ialah untuk dijadikan koordinat mutlak yang
menjadi landasan bagi setiap benda yang bergerak.
Sejalan dengan perkembangan pemikiran tentang masalah sistem
koordinat mutlak dalam mekanika klasik itu, pada pihak lain di bidang
fisika klasik terjadi pula proses pemikiran mengenai penafsiran cahaya.
Dalam tahun 1690 Christian Huygens (1629 – 1695) mengemukakan sebuah
teori bahwa cahaya itu suatu sistem gelombang. Gelombang itu pada
hakekatnya adalah getaran yang menjalar. Jadi harus ada zat yang
bergetar, padahal ruang semesta itu vakum. Lahirlah hipotesa Aether, zat
halus yang mengisi penuh alam semesta yang menjadi medium tempat
gelombang cahaya itu dapat menjalar.
Kemudian timbullah pemikiran untuk menjadikan Aether itu sistem
koordinat mutlak yang dicari-cari Newton itu. Dalam tahun 1881 Albert
Abraham Michelson (1852 – 1931) melakukan percobaan dengan alat
interferemeter. Ia ingin mengetahui berapa kecepatan bumi terhadap
sistem koordinat mutlak Aether itu. Percobaan itu diulangi lagi
bersama-sama dengan Morley dalam tahun 1887, sehigga percobaan itu lebih
dikenal dengan percobaan Michelson-Morley. Hasil percobaan
Michelson-Morley menunjukkan bahwa kecepatan bumi terhadap Aether adalah
nol, Jadi bumi sama sekali tidak bergerak terhadap Aether yang diam
secara mutlak itu. Para pakar terperanjat, kecewa, bahkan ada yang
demikian bingungnya sehingga ingin memutar kembali jarum jam ke tiga
abad yang silam, kembali ke faham geosentris, bumi sebagai pusat alam.
Ilmu fisika menjelang akhir abad ke 19 menemui jalan buntu.
Walaupun Einstein tidak pernah (atau mungkin sudah pernah?) membaca
S. Yasin 40 Kullun fiy Falakin Yasbahuwna, tiap-tiap sesuatu berenang
dalam jalurnya, Einstein bertolak dari pandangan tidak ada sistem
koordinat yang diam secara mutlak. Semua benda bergerak relatif antara
satu dengan yang lain. Kemudian Einstein menunjuk kepada fenomena alam
yang didapatkan oleh FitzGerald. Apabila kita memegang sebuah batang apa
saja di bumi ini dan batang itu letaknya melintang terhadap gerak bumi,
lalu tiba-tiba kita mengubah letak batang tersebut membujur jadi searah
dengan gerak bumi, maka batang itu akan mengalami perpendekan. Gejala
ini disebut kontraksi FitzGerald. Atas dasar penemuan Fitzgerald,
Hendrik Anton Lorentz (1853 – 1928) dengan dibantu oleh Larmor, dalam
tahun 1900 membuat kalkulasi matematis yang disebut dengan transformasi
Lorentz.
Eintein membuat penafsiran atas hasil percobaan interferemeter Michelson-Morley sebagai berikut:
- Kecepatan cahaya invarian, tidak terpengaruh oleh gerak pengamat dan benda yang diamati,
- Interval waktu dan interval ruang relatif tergantung dari keadaan gerak pengamat dan benda yang diamati. (Invarian maksudnya laju cahaya itu tetap terhadap sistem apa saja. Jadi kecepatan cahaya terhadap bumi, atau terhadap bulan, atau terhadap matahari tetap 299 792 km/detik).
Relatifnya waktu ada dua jenis. Pertama,
yang berhubungan dengan yang dapat disentuh oleh jisim (tubuh kasar)
manusia melalui hasil pengukuran instrumen. Dalam hal ini waktu itu
relatif tergantung dari keadaan gerak pengamat dan substansi yang
diamati. Kedua, yang berhubungan dengan perasaan dalam jiwa (tubuh
halus) manusia. Waktu relatif tergantung dari keadaan jiwa, jika dalam
keadaan senang, rasanya sebentar, namun kalau menunggu sesuatu, rasanya
lama.
Einstein memperkembang pernyataan (2) di atas, yang disimpulkan dari
hasil transformasi Lorentz, bahwa massa bendapun sama keadaanya dengan
waktu dan ruang yaitu relatif tergantung pada keadaan gerak benda. Hasil
akhir Teori Relativitas Khusus menunjukkan adanya hubungan antara
energi dan massa. Tenaga kinetis tidak lagi dinyatakan dalam pernyataan
yang umum dikenal dalam mekanika klasik, E = ½ mv2, melainkan dalam bentuk deret:
E = mc2 + ½ m v2 + (3/8) m(v4/c2) + …….
Jika v sangat kecil dibandingkan dengan c, maka suku yang ketiga dan
seterusnya dapat diabaikan, dan yang tinggal adalah suku pertama dan
kedua. Suku yang kedua kita telah kenal betul dalam mekanika klasik
seperti yang telah dituliskan rumusnya di atas, E = ½ mv2, sedangkan suku yang pertama baru kita kenal. Pernyataan mc2
tidak tergantung dari kecepatan benda, sebab itu disebut energi diam
(rest energy). Dengan memperhatikan transformasi Lorentz, akan diperoleh
hasil, jika energi kinetis suatu sistem berkurang, energi diamnya akan
bertambah, dan dengan demikian beberapa dari massa diam dari sistem itu
harus bertambah. Kesimpulannya ialah terdapat kesetaraan antara energi
dengan massa:
E = mc2
Inilah hasil akhir yang penting dari Teori Relativitas Khusus.
Pernyataan kesetaraan antara energi dan massa di atas itu baru dapat
dibuktikan kebenarannya setelah Otto Hahn (1879 – ? ) bersama-sama
dengan Lise Meitner (1878 – ? ) dalam tahun 1939 berhasil memecahkan
inti atom dalam laboratorium Institut Kaisar Wilhelm di Berlin. Dengan
diungkapkannya proses transformasi nuklir hasil gempuran unsur-unsur
oleh partikel-partikel alpha, proton, deuteron dan sinar gamma,
pernyataan kesetaraan antara energi dengan massa dari Einstein itu telah
terbukti secara ujicoba dengan kadar ketelitian yang tinggi.
No comments:
Post a Comment